Sejarah konflik Aceh

Share:

















       Bila kita  mendengar  berita  Aceh  sekarang  adalah  tentang  penerapan  hukum  syariat  Islam,   otonomi khusus  aceh,  dan  keistimewaan  Aceh.  Namun  bila  mendengar berita  tentang  aceh  beberapa  tahun  yang  lalu yang mendominasi adalah  tentang  kontak  bersenjata  antara  aparat  keamanan dan  Gerakan  Aceh  Merdeka. Aceh  telah  mengalami  konflik  dan kekerasan  yang  berkepanjangan.  Tidak  terhitung  berapa  korban  jiwa,  orang-orang  yang mengalami  trauma,  kerusakan  benda,  kerugian  materi. Konflik  berkepanjangan  di  Aceh  baru  berakhir  dengan  perundingan  Helsinski pada  15  agustus  2005. Setelah  itu  masyarakat  Aceh mulai berharap  adanya  kedamaian  di  bumi  mereka.
       Konflik  aceh  dengan  pemerintah  pusat  pernah  terjadi,  pada  masa  orde  lama,  waktu  itu  masyarakat  Aceh  protes  dimasukkannya   Aceh   dalam  propinsi  Sumatra  Utara,  padahal  Aceh  telah dijanjikan  akan  diberikan  otonomi  khusus  termasuk  pemberlakuan  syariat  lslam. Pemberontakan  in dipimpin  oleh  Daud  Beureuhreuh.  Semula  pemberontakan  ini  dihadapi  dengan  jalan  militer  namun  akhirnya  berakhir  dengan  damai,  dimana  Aceh  diberi  otonomi  khusus untuk mengatur  daerahnya.
      Konflik  di  Aceh,  mulai  terjadi  lagi  pada  masa  orde  baru,  yang  ditandai  dengan  lahirnya  Aceh  Sumatra National  Liberation  Front(ASNLF),  yang kemudian  menjadi  Gerakan  Aceh  Merdeka,  dengan  tokonhnya  Tengku  Hasan  tiro,  yang memproklamirkan  kemerdekaan  Aceh  dengan  menyebut  wilayahnya  sebagai  negara  Aceh  Sumatra,  pada  tanggal  4  desember  1976.  Gerakan  ini  tidak  banyak  pengikutnya,  sehingga  dengan  mudah  dapat  dihancurkan  pemerintah  dengan  militer. Para  tokohnya  termasuk  Tengku  Hasan  Tiro,  kabur  ke  luar  negeri.   Setelah  itu  pemikiran  separatisme,  meminta kemrdekaan  Aceh  tetap  ada  walaupun  tidak  terlalu  Nampak  ke  permukaan.
       Pada  tahun  1989,  muncul  gerakan  yang  menuntut  keadilan  dalam  pembangunan,  dan  memprotes  dampak  negatif  industrialisasi,  seperti  munculnya kemaksiatan, kriminalitas  yang  dianggap  tidak  sesuai  dengan keadaan  sosial  budaya di  Aceh.  Oleh  pemerintah gerakan  ini  disebut  sebagai  Gerakan  Pengacau  Keamanan,  yang  dianggap  menghambat  pembangunan. Sejak  mei  1989,  mulailah  babak  baru  dalam  konflik  Aceh  dengan  dijadikannya Aceh  sebagai  Daerah  Operasi  Militer. Pada  masa itu  banyak  terjadi  pelanggaran. Hukum, keadilan  tidak  berlaku,  yang  ada  adalah  kekerasan  militer. Pada  masa  itu  rakyat  Aceh  mengalami  kekerasan  oleh  militer.  Terjadi  juga  penyekapan,  pembunuhan,  pemerkosaan,  penyiksaan  oleh  militer  kepada  rakyat  Aceh.  Rakyat  Aceh  menderita  karenanya. Pemberlakuan  DOM  ini  juga melumpuhkan  sector  ekonomi  dan  pendidikan,  terutama  di  daerah  yang  banyak  menjadi  korban  DOM.
      Sejak  tahun  1998,  pada  masa  pemerintahan  B.J  Habibi  dicabutlah  DOM  di  Aceh. Pencabutan  ini  seharusnya  bisa  membawa keadaan  yang  lebih  baik  bagi  rakyat  Aceh,  namun  keadaannya  tidaklah  begitu.  Pencabutan  tersebut  tidak  diikuti  dengan  rehabilitasi  korban  DOM,  sehingga  luka  masyarakat  aceh  belum  sembuh. Keadaan  ekonomi,  social,  hokum  di  Acehpun  belum  diperbaiki  oleh  pemerintah.  Keadaan  ini   dimanfaatkan  oleh  GAM  untuk  menarik  simpati  masyarakat,  sehingga  pengaruh  GAMpun  menguat.  Kekerasan  dan  konflik  di Acehpun  malah  mengalami  peningkatan.  Kebijakan  pemerintah  menyelesaikan  masalah  Aceh  secara  milter.
    GAM  pada  periode  ini  merupakan  lanjutan  GAM periode  sebelumnya  dan  orang  yang  secara  ekonomi  kurang  baik.  Struktur  GAM  lebih  modern  dan  sistematis. Struktur  GAM  terdiri  dari  dua  bagian  utama  yaitu  petinggi  GAM  di  Swedia,  dan  struktur  operasional  di  Nangrgroe  Aceh. Meskipun  pada  waktu  itu  sudah  beberapa  kali  ada  perundingan  antara  pemerintah  RI  dan  GAM, namun  tetap  berlangsung  konflik  bersenjata.
















Akar  Masalah  Konflik  Aceh

        Akar masalah di  Aceh ada  dua  yaitu  alasan  ekonomi  dan alasan sosial-budaya.     Di   Aceh terjadi  ketidakterimaan  masyarakat   atas  masalah  ekonomi  yaitu  ketidakadilan  ekonomi dalam  pembagian  atas  hasil  aset sumber daya  alam. Aceh  yang kaya  akan  sumber daya  alam,  hasilnya  lebih  banyak  di ambil  ke  Jakarta,  dalam  pengelolaanpun aset-aset yang menghasilkan keuntunganpun masyarakat  Aceh  tidak  diberi banyak kesempatan. Masyarakat  aceh  secara  umum  kurang memiliki  kesejahteraan, kemiskinan, dan banyaknya pengangguran. Alasan  ekonomi inilah  yang  menjadi alasan  utama  protes masyarakat  Aceh,  terhadap  pemerintah  pusat  karena  merasa  diperlakukan  tidak  adil.
         Selain  alasan  ekonomi,  protes  masyarakat  Aceh  juga  karena  alasan sosial budaya yaitu, masyarakat  Aceh ingin  budaya  mereka  yang  kental  dengan nuansa  lslam lebih  diterapkan  dalam  kehidupan. Secara  turun-temurun masyarakat Aceh  dikenal  melaksanakan  syariat  lslam  secara  ketat sejak masa kerajaan,  termasuk  ketika  mengalami puncak kejayaan  pada  masa  kerajaan  Aceh.
       Adanya  kekhasan  budaya  dari  masyarakat  aceh  ini  membentuk  identitas khusus  yang  secara  umum  berbeda  dengan identitas  daerah  lainnya  di  lndonesia,  dan  bertubrukan  dengan  identitas  nasional.
         Aspirasi orang  Aceh tidak  diperhatikan  dengan  baik  oleh pemerintah  orde baru, sehingga  segala macam  bentuk protes ditanggapi   dan  dianggap sebagai penghambat  pembangunan  yang   harus  dihilangkan. Pemerintah  orde baru menanggapi  hal  ini  secara  kekerasan  yaitu  dengan cara  militer, sampai akhirnya  dijadikannya  aceh  sebagai  daerah  operasi militer. Penyelesaian  secara  kekerasan  ini  tidak  menyelesaikan masalah. Hal inilah  yang  semakin  meningkatkan protes  berwujud  kebencian  masyarakat  aceh  terhadap  pemerintah  pusat. Ditambah pula  pengelolaan pemerintahan  yang  terlalu sentralistis. Akibat  adanya  operasi militer malah  mengakibatkan  masyarakat  aceh  juga menghadapinya  dengan  kekerasan,  dengan mempersenjatai  diri.
       Masyarakat  aceh  juga  terkenal memilik semangat melawan yang  tinggi,  hal  ini  terlihat sejak  jaman  Belanda,  dimana  aceh  merupakan  daerah  yang  sulit  sekali  dan  paling  akhir  ditaklukkan, semangat mereka didasari  keyakinan berlandaskan  islam yaitu bila mereka  mati  dalam peperangan akan  mati  syahid.
Sejarah  Konflik  di  Aceh

       Di  Aceh  sebenarnya pada  jaman  orla  sudah  ada  konflik  dengan  pemerintah  pusat,  yang  dipimpin  oleh  Daud bareuhreuh,  seorang  yang banyak berjasa  pada  republik  lndonesia,  seorang  tokoh masyarakat  Aceh, mantan gubernur militer Aceh,  gerakan  ini  karena  protes dimasukkannya  aceh  dalam  propinsi  Sumatra  utara. Padahal aceh banyak  berjasa  pada  republik  lndonesia  dalam perang  mempertahankan  kemerdekaan, dan presiden  RI Soekarno sudah  berjanji, Aceh akan  diberi  kebebasan dalam menjalankan Syariat lslam.   Daud bareuhreuh kemudian menyatakan,   memasukkan  Aceh  dalam  wilayah  DI/TII Kartosuwiryo.  Semula  gerakan  ini  dihadapi dengan  militer  namun  akhirnya berakhir  dengan diadakannya musyawarah kerukunan rakyat  aceh,  dengan  ini  berakhirlah  gerakan  ini.  Pemerintah  Indonesia kemudian memberikan  status derah istimewa  dengan  otonomi yang luas.   Hal  ini  kemudian  diformalkan  dalam  UU No.18  tahun  1965,  dimana  Aceh  memperoleh  keistimewaan  dalam hal agama,  adat-istiadat,  pendidikan.
         Konflik  Aceh  yang  ditunjukkan  dengan  berdirinya  gerakan  aceh  merdeka dimulai dengan  Gerakan  Aceh  Merdeka  dengan  tokohnya,  Tengku  Hasan  Tiro, yang  memploklamirka kemerdekaan  Aceh  pada  4 desember 1976. Pemberontokan  ini  dalam  waktu  singkat  segara  ditumpas  pemerintah  dengan  senjata,  Tengku  Hasan  Tiro  dan   tokoh-tokoh lainnya  kemudian  melarikan  diri  ke  luar  negeri  ke  berbagai  negara,  hingga  akhirnya  menetap  dan  menjadi  warga  negara  Swedia. Walaupun  sudah  ke luar  negeri  namun  Hasan Tiro  masih  mengembangkan  pemikiran  dan  memimpin  GAM.  Ketidakterimaan  masyarakat  Aceh  juga  karena  karena  diberlakukannya UU  No.5  tahun  1974  tentang  pokok-pokok  penyelenggaraan  pemerintahan  di  daerah,  yang  diikuti  penghapusan UU No.18  tahun  1965,  yang  dipahami  rakyat  Aceh  sebagai  pencabutan  status  Aceh  sebagai  derah  istimewa  yang memiliki otonomi  dalam  mengatur  daerahnya.
         Walaupun  telah  ditumpas  namun  pada  kenyataannya  GAM, masih berkembang  di masyarakat. Dalam  waktu  singkat  sesuai  dengan  kondisi  masyarakat  Aceh,  GAM   segera  mendapat  simpati  masyarakat  Aceh  karena  memberikan  harapan. Sebenarnya  perjuangan  GAM  tidak  dilandasi  oleh  keagamaan.  Tuntutan  utama  GAM  adalah  pemisahan  wilayah  atau  kemerdekaan  aceh  dari  lndonesia. Tuntutan  ini  terus  berlangsung  selama  konflik  bersenjata  sampai  masa  reformasi.  Dalam  perjuangannya  GAM  di  aceh  menggunakan  cara  militer,  yaitu  menyerang  aparat  keamanan,  menyerang  symbol-simbol pemerintah. Ketika konflik  aceh  yang  berkepanjangan  berlangsung,   mengakibatkan  korban  jiwa  di  kedua  belah  pihak, ketakutan,  kerugian  materi  yang  banyak.
       Orde baru  dengan soehartonya   telah  ditumbangkan  oleh  reformasi,  pendekatan  terhadap  GAMpun  berubah. Ketika reformasi  aceh sebagai  daerah operasi militer  dicabut, operasi  militerpun sedikit mengendur. Selain menggunakan pendekatan  militer,  pemerintahpun  menggunakan  jalur  perundingan  dengan  GAM.  Pada  proses  perundingan  tahun 2000-2002, beberapa kali  terjadi  pelanggaran  dan  gagal. Bagi  pemerintah,  NKRI adalah  hal yang  tidak  bisa  ditawar,  bagi  GAM   kemerdekaan  adalah  tuntutan  yang  tidak  bisa  ditawar,  namun pada  akhirnya pemerintah lndonesia  dan  GAM  sama-sama melunak, pemerintah menerima  opsi  penyelesaian  dengan  syarat,  Aceh  tetap  menjadi  bagian  NKRI,  GAM  pun  pada  akhirnya tidak menginginkan  kemerdekaan, hanya  menginginkan  Aceh  mempunyai  otonomi  yang  luas dalam  mengatur  politik,  ekonomi  dan  social-budaya.
         Ternyata penyelesaian  masalah  aceh secara militer yang  berkepanjangan juga  menghabiskan  dana  yang banyak,  tidak  menyelesaikan masalah,  tidak dapat mengahabiskan  GAM, dari  sisi  GAM, perjuangan  bersenjata  mereka  juga  tidak  membuahkan  hasil  yang  diinginkan. Ditambah  lagi adanya  momentum  yaitu bencana tsunami yang memporak porandakan  aceh, pada tanggal 26 desember 2004, yang menelan banyak korban, menghancurkan   infrasuktur. Akhirnya  pemerintah  lndonesia  dan  GAM  serius menyelesaikan  masalah  Aceh   melalui  perundingan. Setelah  melalui  proses  yang  panjang  akhirnya  perundingan  perdamaian  Aceh  memasuki  babak  baru.
         Akhirnya  terjadilah  proses  menuju perundingan  Helsinski,  lalu  tercapailah  perundingan  Helsinski  pada  tanggal  15  agustus  2005.  Dalam  perundingan  Helsinski  tim GAM  terdiri  atas  perdana  mentri  Malik  Mahmud,  mentri  luar  negri  Zaini  Abdullah,  juru  bicara  Bahtiar  Abdullah,  pejabat  politik  Nur  Djuli  dan  Nurdin  Abdul  Rahman,  kemudian  ditambah  Shadia  Marhaban  dan  Irwandi  Yusuf.  Delegasi  Rl,  dipimpin  menkumham  Hamid  Awaludin, Menkominfo  Sofyan  Djalil,  yang  merupakan  putra  asli  Aceh,  deputi  menko  kesra  dr  Farid  Husain, dan dua  pejabat  kementrian  luar  negri. Perundingan  ini  membawa  hasil  yaitu  dintandatanganinya  MoU antara  pemerintah  lndonesia  dan  GAM.
      Ketika  proses  perundinganan  dengan  GAM, di  dalam negeri ada  sedikit ketidaksetujuan  yaitu  oleh  beberapa  perwira  TNI  dan  beberapa  pendapat  di  parlemen,  yang menetang  perundingan  damai, namun  ini  dapat  diatasi  dan  tidak  mengganggu  proses  perundingan.
     Secara  umum,    MoU  Helsinski  ini  berisi  penyelenggaraan  pemerintahan  Aceh,  partisipasi  politik  Aceh,  hak-hak  ekonomi  bagi  Aceh,  pembentukan  undang-undang  tentang  Aceh, penyelesaian  masalah  pelanggaran  HAM,   pemberian  amnesty  dan  reintegrasi  mantan anggota  GAM,  pengaturan  keamanan.  Setelah  perundingan  ini  implementasi  hasil  perundingan  segera  dilaksanakan, secara bertahap.

























Kesimpulan

       Aceh, yang dikenal  sebagai serambi mekah, daerah  paling  barat  di lndonesia  dengan  otonomi  khusus.  Aceh  memiliki  sifat  kekhasan  dalam  budaya,  yaitu melekatnya islam  ke dalam  budaya  mereka  sejak  jaman kerajaan.   Aceh  juga  memiliki kekayaan  sumber  daya  alam  yang  melimpah.
      Karena  pengaturan  yang  tidak  tetap, kekhasan budaya  masyarakat  aceh  dan  kekayaan  sumber daya  alam  itulah  yang  mengakibatkan  masalah salah  satu  diantaranya adalah konflik yang berlarut-larut.
      Ketika masa  orde lama,  aceh  sudah  pernah  mengalami  konflik  dengan  pemerintah pusat. Waktu  itu  karena  kekecewaan,  yang  disebabkan,  Aceh  yang  banyak  berjasa  kepada  republic  lndonesia,  dan  telah  dijanjikan  oleh  Soekarno  akan  diberi  kebebasan  dalam  mengatur  daerahnya  sesuai  syariat  islam,  ketika  pembentukan  propinsi  malah  dimasukkan dalam  propinsi  Sumatra  Utara. Pemberontakan  ini  dipimpin  Daud Beureuhreuh,  pada  awalnya  ditumpas  secara  militer, namun  pada  akhirnya  berakhir  dengan damai  lalu  pemerintah  memberikan  otonomi khusus pada  Aceh  dan memberikan  kewenangan  untuk mengatur  daerahnya  sesuai adat,  dan  budayanya  yang  lekat  dengan  syariat  islam.
      Ketika  orde  baru  yang  identik  dengan  pembangunan,  acehpun  seakan  oleh  pemerintah  di bangun,  sumber  daya  alam,  kekayaan  alam,  sumber  ekonomi  aceh  di olah  oleh  pemerintah  pusat.  Sayangnya  pengolahan  tersebut  tidak  memuaskan  masyarakat  aceh, karena hasil  ekonomi  lebih  banyak  diangkut  ke  Jakarta,  pembagian  yang  tidak  adil. Masyarakat  acehpun  memprotesnya,  namun  aspirasi ini  oleh  pemerintah  tidak  digubris  malah  ditangggapi  dengan  kekerasan.
       Keadaan  sosial  budaya  masyarakat  Aceh  yang  memiliki  kekhasan  dibandingkan  daerah  lain  di  lndonesia,  yaitu  melekatnya  ajaran  lslam    yang  sudah  turun-temurun  yang  diimplementasikan  dalam  aspek  kehidupan  mereka. Masyarakat  acehpun  ingin  diberi  kekuasaan  lebih  untuk menerapkan  syariat  lslam  di  tanah  mereka. Namun  oleh  pemerintah pusat,  hal  ini  diabaikan,  pemerintah  cenderung  menganggap  daerah-daerah  di lndonesia  disamakan.   Dalam  hal  ini  pemerintah  terlalu  sentralistis.

Tidak ada komentar