Dalihan Na Tolu, yang Terus Bertahan di Tengah Perubahan
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan jaman yang diikuti dengan berkembangnya, teknologi, informasi, dan globalisasi yang pesat, membawa dampak membawa dampak bagi kebudayaan. Era informasi dan globalisasi ternyata menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan budaya, yakni sebuah kecenderungan yang mengarah terhadap memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya, dan berkurangnya keinginan untuk mempertahankan budaya sendiri. Tetapi walaupun demikian derasnya arus globalisasi tidak membawa dampak yang signifikan dalam perubahan budaya Batak. Budaya Batak justru terus tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan zaman tanpa harus meninggalkan identitas aslinya.
Budaya Batak sebagai salah satu identitas bangsa Indonesia telah mengalami perubahan dan penyesuaian dari masa ke masa. Suku bangsa Batak yang semula tertutup terhadap terhadap pengaruh budaya luar, kini perlahan-lahan mulai terbuka dalam menyambut perubahan zaman. Keterbelakangan budaya Batak pada awalnya disebabkan karena pengisolasian diri beberapa abad masa lampau,yakni sejak abad ke-16. Pengisolasian ini bertujuan untuk mempertahankan kebudayaan/ kepribadiannya dari pengaruh-pengaruh kebudayaan dan peradaban yang dibawa penjajahan Belanda. Pengisolasian suku Batak ini mulai terbuka karena kemajuan zaman sejak akhir abad ke-19. Budaya Batak akhirnya terbuka akan masuknya kemajuan teknologi, informasi dan globalisasi.
Setelah meninggalnya Raja Si Singa Mangaraja XII oleh penjajahan Belanda pada akhir abad ke-19 , budaya Batak mulai banyak mendapat pengaruh dari luar. Sejak saat itu suku bangsa Batak mulai mengalami penyesuain akan kondisi yang dihadapi. Identitas budaya asli warisan nenek moyang tersebut ada yang tetap dipertahankan sampai sekarang tetapi ada juga yang disesuaikan dengan kondisi zaman dan era emansipasi.
Identitas budaya Batak, satu yang paling terkenal dan masih terus bertahan saat ini adalah budaya “Dalihan Na Tolu” (jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Dalihan Na Tolu artinya tungku api berkaki tiga). Falsafah hidup Dalihan Na Tolu di lingkungan Suku Batak dikenal dengan adanya sistem marga, yaitu identitas orang- orang yang mempunyai garis keturunan yang sama menurut ayah atau patrilineal. Contohnya adalah jika ayah memiliki marga Tarigan, maka anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan akan bermarga Tarigan. Sistem marga ini sudah ada sejak dahulu kala sampai sekarang masih tetap dipertahankan secara turun-temurun, ditengah kemajuan jaman, arus globalisasi, informasi, tehnologi.
Sistem marga dalam budaya Batak selain sebagai identitas diri juga berfungsi sebagai pengikat tali persaudaraan yang dalam. Apabila dua orang atau lebih masyarakat Batak bertemu untuk pertama kali dan ingin berkenalan maka yang ditanyakan bukanlah nama dari orang bersangkutan melainkan marganya. Apabila orang-orang yang berjumpa ini kebetulan semarga maka akan terjalin persaudaraan yang sangat dalam. Jika tidak semarga pun maka akan ditentukan panggilan yang saling menghormati. Dengan perkataan lain masyarakat Batak yang menerima Dalihan Na Tolu sebagai falsafah hidup adalah satu masyarakat yang utuh dan diikat oleh aturan main yang rapi dan selalu ditaati. Adanya sistem marga-marga membuat semangat kekeluargaan dan kesetia-kawanan tercipta.
Salah satu aturan Dalihan Na Tolu adalah dilarang kawin semarga. Artinya masyarakat Batak tidak boleh menikah dengan orang lain yang memilki marga yang sama dengannya. Contohnya adalah jika ada seorang perempuan bermarga Lubis, maka dia dilarang secara adat untuk menikah dengan laki-laki yang bermarga Lubis juga. Sesuai dengan hukum adat, orang-orang yang memiliki marga yang sama (semarga) dianggap sebagai adik-kakak. Oleh karena itu dilarang menikah dengan orang lain yang memiliki marga yang sama. Hukum adat ini sudah ada sejak dulu kala dan sampai saat ini didalam dimensi ruang yang berbeda tetap dipertahankan.
Hal yang paling mendasar dari masyarakat Batak yang patrilineal (menurut garis keturunan ayah) adalah disiplin larangan kawin semarga.
Namun perkembangan teknologi, globalisasi dan era informasi yang pesat membawa dampak bagi perkembangan budaya Batak. Dari berbagai identitas budaya yang telah diwariskan turun-temurun, ada yang harus disesuaikan dengan kondisi yang terjadi sekarang. Penyesuaian tersebut dilakukan karena tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Salah satu contohnya adalah dalam hal sistem pembagian harta warisan. Hukum adat Batak yang patrilineal tidak mengakui adanya Hal yang paling mendasar dari masyarakat Batak yang patrilineal (menurut garis keturunan ayah) adalah disiplin larangan kawin semarga.
Budaya Batak membuat masyarakat selalu berkeinginan untuk memiliki anak laki-laki. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa anak laki-laki sebagai penerus marga, pelaksana aktivitas adat, ahli waris serta diutamakan dalam pendidikan. Untuk itu anak laki-laki selalu diusahakan untuk maju, sebab keberhasilan anak laki-laki merupakan kebanggaan keluarga. Berbagai usaha dilakukan demi tercapainya harapan tersebut. Sedangkan perempuan berada pada posisi yang lemah yang dituntut oleh nilai budaya untuk selalu patuh dan hormat terhadap anak laki-laki.
Namun perkembangan zaman, tingkat pendidikan, serta tingkat pengetahuan mendorong masuknya unsur-unsur baru serta wawasan yang semakin luas. Keterbukaan masyarakat untuk menerima unsur-unsur baru tersebut membuat masyarakat secara umum merespon unsur-unsur baru tersebut lalu memasukkannya dalam kehidupan. Termasuk perubahan perlakuan orang Batak Toba terhadap anak perempuan . Orang tua akhirnya memberikan kesempatan yang sama antara anak laki-laki dengan anak perempuan untuk lebih maju. Akhirnya telah terjadi perubahan perlakuan terhadap anak perempuan membuat anak perempuan telah berhasil dalam pendidikan ketingkat yang lebih tinggi, dengan pendidikan yang dimiliki oleh perempuan, membuat perempuan tersebut mulai menuntut haknya dalam warisan, anak perempuan juga sudah masuk kedunia kerja namun anak laki-laki sebagai penerus marga tidak akan pernah berubah.
Perubahan lainnya yang terlihat dari suku Batak adalah dalam hal agama, HKBP adalah salah satu contohnya. Mereka beranggapan bahwa tidak semua generasi muda mengerti serta memahami bahasa Batak dengan baik, akhirnya mereka pun berubah karena situasi dan kondisi, mereka melaksanakan kebaktian dengan bahasa indonesia.
Daftar Pustaka
Rodgers, Susans. Batak Tape Cassette Kinship: Constructing Kinship Through the Indonesian National Mass Media. http://www.jstor.org/stable/644584 (file pdf)
Bruner, Edwar M. 1995. Social Organization and Structure; Indonesia Homecoming: A case Study in the Analysis of Ritual
Internet
www.google.com
dan dari bolg-blog
Tidak ada komentar