1. Sejumlah antropolog berpendapat bahwa sistem kepercayaan Jawa termasuk agama lslam bersifat sinkretis. Sejauh mana sinkretisme tersebut dilihat sebagai hal yang menguntungkan dan merugikan. Jelaskan pemahaman para etnografer mengenai hal tersebut!
2. Bagaimana pemahaman konsep gotong-royong yang keberadaannya semakin menghilang dari kehidupan masyarakat Jawa. Sejauh mana anggapan tersebut tercermin dalam kehidupan masyarakat Jawa?
3. Bagaimana isu yang berkembang mengenai gender yang digali oleh para antropolog. Mengapa isu ini menjadi pelik, khususnya bila ditinjau dari kajian agama? Bagaimana implikasi perempuan yang bekerja di luar rumah terhadap meningkatnya otoritas yang mereka dapat?
1. Salah satu bentuk sinkretisme yang menarik dan dikaji antropolog adalah slametan, yang dikaji oleh Andrew Beatty dalam makalahnya yaitu, Adam and Eva and Wisnhu. Dalam penjelasannya Andrew Beatty, mendeskripsikan slametan di Jawa sebagai ritual paling populer dan menunjukkan khas yang mengandung unsur lokal, tradisional, Hindu-budha dan islam.
Slametan ini terus bertahan karena memiliki fungsi, dapat diinterpretasikan secara umum atau individu. Ritual slametan merupakan komunikasi sosial antar warga, sebagai sarana legitimasi, sebagai simbol dan menyimbolkan keadaan sosial-budaya warganya. Simbol dan maknanya dalam hal yang berkaitan dengan ritual dan slametanpun menimbulkan pamaknaan ynag berbeda. Slametan merupakan produk sinkretisme antara agama islam dan kepercayaan Jawa lama yang menimbulkan corak kebudayaan tersendiri.
Adanya sinkretisme yang salah satu wujudnya adalah slametan menguntungkan bagi masyarakat Jawa, karena disamping kepercayaan dalam diri mereka tidak hilang, juga sesuai dengan pikiran dan hati mereka. Orang jawa dalam melaksanakan memahami dan meyakini maknanya sehingga mereka melaksanakannya dengan senang, serta menganggap bagian dari ritus hidup. Kepercayaan Jawa pada hal gaib, gambaran kosmos, jagad gedhe dan jagad cilik sistem pengetahuaan masyarakat Jawa tetap bertahan dan terpelihara. Hal ini juga menunjukkan masyarakat Jawa bersikap adaptif dan akomodatif terhadap pengaruh dari luar dan bisa menyesuaikan.
Pandangan Greetz yang digunakan Beatty, mengungkapkan selain menguntungkan slametan juga menunjukkan variasi di masyarakat Jawa, berkaitan dengan kepercayaan Jawa antara kaum santri, priyayi, dan abangan. Pada masyarakat priyayi, pemahaman dan pelaksanaan slametan tinggi, begitu juga pada kaum abangan. Berbeda dengan kaum santri yang merupakan, kaum islam terdidik, menganggap dalam slametan terdapat sesuatu yang tidak benar dan harus dihilangkan unsur-unsurnya, merekapum terlihat tidak terlalu intens dengan slametan.
Dalam slametan adanya penggunaan nama adam dan hawa, sebagai pendahulu, manusia pertama, menyimbulkan laki-laki dan perempuan, serta sebagai nenek moyang dari semua manusia. Bahkan kadang juga terdapat istilah dari Hindu-Budha seperti Wisnhu, Resi Wijaya.
Penelitian mengenai slametan bukan merupakan penelitian yang simpel karena mengandung berbagai aspek yang saling berhubungan. Dari slametan ini juga menggambarkan ritual, pemahaman dan pelaksanaan budaya yang lain.
2. Menurut White dan Abullah (2004;7) secara umun gotong-royong dibedakan menjadi tiga yaitu kegiatan komunal wajib untuk kepentingan masyarakat atau bangsa, misalnya kerja bakti, gugur gunung, pemeliharaan dan perbaikan infrasuktur. Kedua, bantuan spontan ketika anggota masyarakat mendapat musibah dan kematian, pada kematiaan. Bantuan diberikan mulai dari pemakaman sampai selamatan pasca pemakaman. Ketiga, yaitu pertukaran dalam bentuk tenaga kerja atau sering disebut sambatan, yang meliputi pekerjaan pertanian, dalam membangun dan merenovasi rumah, dan selametan siklus hidup. Gotong-royong jenis ketiga inilah yang banyak dibahas oleh White dan Abdullah.
White dan Abdullah yang melakukan penelitian di Kaliloro, Kulonprogo pada tahun 1972-1973 dan 1999-2000 menyimpulkan bahwa gotong royong menurun intensitasnya yang ditunjukkan dengan data, pada tahun 70-an, dalam setahun terdapat lebih dari 400-an gotong-royong yang berkaitan dengan acara pendirian dan perbaikan rumah, yang meliputi, pengumpulan bahan, pembuatan bata, penggalian sumur, pembuatan fondasi dan dinding, sampai pengatapan. Tuan rumah menerima sumbangan tenaga kerja, bahan, makanan, dan uang untuk menyelesaikan pekerjaan konstruksi atau perbaikan dengan sumber ekonomi yang terbatas. Pada tahun 1999 hanya ditemukan 52 kegiatan gotong-royong berkaitan dengan pendirian dan perbaikan rumah, sebagian besar hanya penambahan atau perbaikan bukan konstruksi awal pembanguna rumah baru. Hal tersebut karena tenaga mereka diinfestasikan untuk kebutuhan lain, hampir semua rumah tangga sudah memiliki rumah permanen, mereka juga lebih suka membeli batu bata.
White dan Abdullah menyatakan bahwa sambatan dalam panen hampir menghilang, beberapa bentuk gotong-royong seperti bawon, tebasan, gleasing, solidaritas, patronase, hubungan timbal balik antar tetangaga sudah mulai memudar.
Menurut pengamatan dan pendapat saya, elaksanaan gotong-royang tidak hilang tetapi berkurang. Dalam kehidupan sehari-hari, yang terlihat pada masyarakat Jawa di pedesan, misalnya dalam membangun rumah, tidaklah dilakukan sambatan secara penuh, namun hanya pada beberapa hari saja, biasanya pada waktu awal mendirikan yang membutuhkan banyak orang. Dalam pelaksanaan panen salah satu warga sambatan tidaklah dilakukan sampai selesai, tapi hanya pada hari pertama, dengan banyak warga, setelah itu hanya sedikit warga yang bekerja, hanya beberapa tetangga, tapi yang membantu mendapat upah. Dalam pelaksanaan gotong-royong itu, si empunya, menyediakan makanan dan minuman. Pelaksanaan gotong-royong atau yang biasa disebut dengan sambatan ini merupakan hubungan timbal-balik atau dilakukan secara
bergantian, mana warga yang membutuhkan. Perubahan ini karena meningkatnya kebutuhan ekonomi dan adanya kesibukan masyarakat. Hal ini juga karena menyesuaikan dengan keadaan.
Perubahan pelaksanaan, pamahaman dan pemaknaan gotong-royong tersebut juga berlaku pada masyarakat Jawa secara umum.
3.-- lsu mengenai gender di lndonesia yang dipelajari oleh antropolog misalnya Clarissa Adamson yang meneliti tentang gender pada wanita muslim di Jawa dengan topik hak-hak wanita muslim di Jawa, yang melakukan penelitiannya pada saat berakhirnya rezim orde baru dan awal mulainya reformasi.
Dalam pemaparannya, Adamson mengatakan bahwa Surat An-nisa ayat 24, menegaskan superioritas laki-laki atas perempuan, bahkan kaum feminis berpendapat bahwa interpretasinya didasarkan pada bias gender dan patriarki. Adanya penerjemahan kata Qawam, yang berarti pemimpin, menurutnya menyebabkan perempuan sebagai subordinasi laki-laki, padahal kepemimpinan yang dimaksud sebenarnay adalah kepmimpinan yang berkewajiban melindungi, mengayomi, serta mengajak pada kebenaran, dan perempuan (istri) juga mendapat hak-haknya , yang wajib diberikan oleh laki-laki. Laki-laki juga tidak boleh menegakkan kepemimpinan secara otoriter, dan mengabaikan kepentingan perempuan (istri). Prinsip musyawarah harus digunakan, hubungan juga harus dijalankan dengan baik. Kepemimpinan laki-laki dalam keluarga tidak bertentangan dengan kesetaraan gender, karena kesetaraan dan keadilan bukanlah segala sesuatu harus persis sama.
Mereka juga menyatakan bahwa, kepercayaan di dunia Muslim bahwa Al-Qur'an dan Hadis mendefinisikan laki-laki sebagai superior didukung oleh interpretasi klasik tafsir dari teks-teks agama. Pandangan ini keliru. Hal perlu dipahami adalah islam tidak merendahkan perempuan, mengekang perempuan, atau melarang perempuan berkiprah di luar rumah, islam memandang laki-laki dan perempuan adalah sama, yang membedakan ketakwaannya. Dalam hak mendapat pendidikan, kesehatan, perlakuan hukum laki-laki dan perempuan mendapatkan hak yang setara. Perempuan tidak dilarang untuk berkiprah di sektor publik, peran sosial kemasyarakatan dan politik malah diberikan tempat yang layak dan terhormat.
-- Isu ini menjadi pelik bila antropolog mengkaji dari sudut pandang agama karena kurangnya pemahaman para antropolog dalam mengkaji agama, para antropolog cenderung menganggap
adanya ketimpangan gender akibat ajaran agama, padahal hal tersebut karena kondisi sosial-budaya masyarakat atau pelaksanaan di lapangan bukan karena ajaran agama. Hal lain yang dilakukan antropolog adalah melakukan generalisasi yang kurang tepat, keadaan palaksanaan gender di suatu tempat struktur, unsur, institusi keagamaan dianggap mencerminkan gambaran mengenai gender secara keseluruhan, padahal dalam prakteknya berbeda-beda.
-- Pada dasarnya perempuan yang bekerja di luar rumah menunjukkan peningkatan peran. Perempuan yang bekerja di luar rumah biasanya tidak terkungkung dibawah suami, namun ia lebih memiliki nilai di mata suami, memiliki wawasan, pertimbangan, sehingga dapat memberikan saran serta masukan dalam menentukan arah kebijakan rumahtangga. Bila dalam keluarga kekurangan uang, dapat menutupi. Ia juga turut menentukan kebijakan dalam keluarga. Perempuan yang bekerja, hingga mendapatkan penghasilan, dalam membeli kebutuhan pribadinya lebih leluasa, tidak tergantung pemberian uang ke suami. Di sisi lain perempuan yang bekerja diluar rumah lebih sedikit memiliki waktu untuk mengurusi masalah di dalam rumah.
Namun bukan berarti perempuan yang tidak bekerja bekerja selalu terkungkung dibawah suami, atau perempuan yang bekerja dan mendapatkan gaji yang lebih tinggi dari suami selalu dominan. Ada kalanya juga istri yang lebih dominan dalam menentukan kebijakan. Otoritas yang didapat dari perempuan yang bekerja di luar rumah kembali pada masing-masing individu. Perempuan yang akan bekerja diluar rumah merupakan kesepakatan, pertimbangan bersama suami-istri, melihat situasi dan kondisi dan dipengaruhi oleh budaya dikeluarga.
Daftar pustaka
White, Benjamin and Irwan Abdullah 2004 “Decline and Persistence of Reciprocal Labour: Harvesting and Housebuilding in a Javanese Village, 1973-2000. Manuscript.
Beatty, Andrew, Adam and Eve and Wishnu: Syncretism in the Javanese Slametan, The Journal of the Royal Anthropological Institute, Vol. 2, No. 2 (Jun., 1996), pp. 271 -288, Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland
Adamson, Clarissa “Gendered Anxieties: Islam, Women’s Rights, and Moral Hierarchy in Java” American Association for the Advancement of Science, Project MUSE Scholarly journals online
Tidak ada komentar