REVIEW BAB 1-4
Stukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra
Bab 1
Pendahuluan
Bab ini terdiri dari pengantar mengenai strukturalisme dan riwayat hidup dan Levi-strauss. Setelah membaca bagian ini, pemahaman yang kita peroleh adalah, Claude Levi-Strauss adalah ahli antropologi berkebangsaan Prancis, Dia lahir di Brussles, Belgia pada tanggal 28 November 1905. Ayahnya bernama Raymond Levi-Strauss ibunya bernama Emma Levy. Minat utama Levi-Strauss semula bukanlah antropologi. Di masa mudanya dia lebih banyak membaca buku hukum dan filsafat.
Pada tahun 1927 Levi-Strauss masuk fakultas hukum paris juga belajar filsafat di Universitas Sorbone. Pada tahun 1923 Levi-Strauss menikah dengan Dina Dreyfus. Pada tahun itu Levi-Strauss memasuki dinas militer dan pada tahun ini pula Levi-Strauss menjadi pengajar di Mont de-Marsan Lycee. Pada tahun 1935 Levi-Strauss berangkat dari Marseile menuju Brazil, dia menjadi pengajar di universitas Sao Paolo dalam bidang sosiologi.
Selama mengajar Levi-strauss mendapatkan kesempatan untuk ekspedisi ke daerah pedalaman Brazil serta mengunjungi berbagai suku Indian yang belum terjamah peradaban. Dari ekspedisi dan pengalaman inilah lahir karya semacam laporan perjalanan plus otobiografi yang mengesankan, yang membutnya terkenal di Prancis, yaitu Tristes Tropique. Buku ini menjadi semacam ethnografi bagi Levi-Strauss. Dalam buku ini levi-Strauss bertutur dengan bahasa yang memikat dan menyentuh rasa kemanusiaan tentang kisah-kisah tragis suku Indian di amazon, sehingga namanya tidak hanya dikenal di kalangan akademisi tetapi juga masyarakat luas.
Bab 2
Struktulalisme Levi-Straus
Pada bab ini terdiri dari empat bagian yaitu ;
1. Levi-Straus, Bahasa dan Kebudayaan
Penjelasan yang diperoleh dari bagian ini yaitu, para ahli antropologi melihat hubungan antara bahasa dan kebudayaan. Levi-Straus juga menggunakan model dari linguistik, yang membedakan dengan ahli lainnya adalah cara menerapkan model linguistik dalam analisis serta aliran linguistik yang menjadi inspirasi untuk analisis. Dari pandangan para ahli antroplogi mengenai bahasa dan kebudayaan, Levi-strauss memilh pandangan yang menyatakan bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan, dan ini berarti dua hal. Pertama , bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan dalam arti diakronis, artinya bahasa mendahului kebudayaan karena melalui bahasalah manusia mengetahui budaya masyarakatnya. Kedua, bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material yang digunakan untuk membangun bahasa pada dasarnya adalah material yang sama tipe/jenisnya dengan material yang membentuk kebudayaan itu. Materi itu adalah relasi-reasi logis, oposisi, korelasi dan sebagainya (Levi-strauss, 1963;68-69).
Menurut Levi-strauss sebagian ahli bahasa dan ahli antropologi memandang bahasa dan kebudayaan dari perspektif yang kurang tepat, karena mereka menganggap ada hubungan kausalitas antar hal tersebut. Mereka terperngkap dalam pertanyaan, apakah bahasa mempengaruhi kebudayaan, atau kebudayaan mempengaruhi bahasa. Menurut Levi-strauss pertanyaan ini menyesatkan.
Perspektif yang lebih tepat menurut Levi-strauss adalah memandang bahasa dan kebudayaan sebagai hasil dari aktifitas yang pada dasarnya mirip atau sama. Aktifitas ini berasal berasal dari apa yang disebut tamu tak diundang (uninvited guest) yakni nalar manusia (human mind). Jadi, adanya korelasi antara bahasa dan kebudayaan bukanlah karena adanya semacam hubungan kausal (sebab-akibat) antara bahasa dan kebudayaan, tapi karena keduanya merupakan produk atau hasil dari aktifitas nalar manusia. Dalam memahami korelasi antara bahasa dan kebudayaan harus hati-hati dan perlu memperhatikan tempat dimana kita mencari korelasi tersebut dan apa yang ingin kita korelasikan. Levi-strauss menyatakan bahwa hubungan antara bahasa dan kebudayaan pada dasarnya adalah kesejajaran atau korelasi yang mungkin dan ditemukan diantara keduanya, sehingga ahli antropologi dan ahli bahasa bisa bekerjasama untuk membandingkan ekspresi dan konsep mengenai waktu pada tataran bahasa dan sistem keerabatan atau relasi antarindividu.
Para ahli antropologi dan bahasa pada dasarnya berupaya menyusun sebuah struktur dengan satuan-satuan yang membentuknya (1963;63). Karena itu korelasi yang tampak berada pada tingkat stuktur, bukan pengulangan pada tingkat perilaku. Levi-stauss (1963) memberi contoh korelasi yang tampak antara sistem kekerabatan orang lndian di Amerika Utara dengan mitos-mitos mereka dan cara orang lndian mengekspresikan konsep waktu mereka. Levi-strauss menyatakan bahwa tidak ada korelasi yang penuh seratus persen dan korelasi
yang tidak mungkin. Ada suatu korelasi antar hal-hal tertentu, pada tataran tertentu, dan tugas kita adalah menentukan apa hal-hal tertentu tersebut dan pada tataran apa (1963;79). Untuk itu seorang antropolog harus mampu melakukan analisis yang sejalan dengan cara analisis para ahli linguistik atas fenomena kebahasaan.
Hal lain yang membuat Levi-atrauss menyatakan bahwa ilmu linguistik perlu digunakan oleh ahli antropologi adalah adanya temuan keterkaitan praktis antara linguistik dan rekayasa komunikasi. Levi-strauss melihat peranan linguistik bagi antropologi karena menginginkan antropologi mencapai posisi ilmiah (scientific) sebagaimana ilmu pasti dan alam. Levi-strauss terkesan dengan analisis yang dilakukan ahli bahasa atas berbagai macam bahasa di dunia. Dalam pandangannya mereka mampu merumuskan formula untuk memahami fenomena kebahasaan yang kompleks dan memanfaatkan konsep permutasi dalam analisis mereka..
Levi-strauss kemudian menggunakan analisis linguistik sebagai model bagi analisisnya. Perlunya antropolog memahami linguistik terasa semakin mendesak ketika munculnya linguistik struktural. Menurut Levi-strauss peranan linguistik struktural dalam pandangan ahli linguistik dan ilmuwan sosial mirip dengan peranan fisika nuklir dalam ilmu fisika. Munculnya cara pandang stuktural dapat memperkokoh fondasi ilmu-ilmu sosial sebagai cabang dari ilmu pengetahuan. Levi-strauss berpendapat bahwa linguistik struktural merupakan pemahaman yang perlu dipahami dan ditelusuri implikasi teoritis dan metodologisnya. Levi-strauss menyarankan pada antropolog untuk menggunakan model linguistik dalam menganalisis gejala sosial-budaya, atau mengambil bahasa sebagai model untuk memahami gejala kebudayaan.
2. Levi-Straus dan Linguistik Struktural
Hal yang dijelaskan pada bagian ini adalah tentang ahli-ahli linguistik struktural yang pemikirannya sangat berpengaruh pada Levi-Strauss antara lain Ferdinand de Saussure, Roman Jakobson dan Nikolai Troubetzkoy. Pandangan dari de Saussure yang menjadi dasar strukturalisme Levi-Strauss yakni; 1 signified (tinanda) dan signifier (penanda), 2. form (bentuk) dan content (isi), 3. langue (bahasa) dan parole (ujaran, tuturan) 4.synchronic (sinkronis) dan diachronic (diakronis) 5. syntacmatic(sintagmatik) dan associative. Jkobson dengan analisis strukturalnya memberikan pengaruh pada Levi-strauss tentang bagaimana memehami atau menangkap tatanan yang ada di balik fenomena budaya.
3. Makna, Struktur dan Transformasi
Hal yang dijelaskan pada bagian ini adalah, Levi-strauss menyatakan bahwa struktur adalah model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisanya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri. Model ini merupakan relasi yang berhubungan satu sama lain atau saling mempengaruhi..
Stuktur adalah relations of relations (relasi dari relasi) atau sistemof relations (1963). Dalam analisis stuktural, stuktur dibedakan menjadi dua macam yaitu struktur lahir, struktur luar (surface structure) dan stuktur batin, struktur dalam (deep stucture). Struktur luar adalah relasi-relasi antarunsur yang dibuat berdasarkan ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut. Sruktur dalam adalah susunan yang dibangun berdasarkan struktur lahir yang telah dibuat, namun tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fenomena yang dipelajari. Struktur dalam disusun dengan menganalisis dan membandingkan berbagai stuktur luar yang ditemukan atau dibangun. Struktur dalam lebih tepat disebut sebagai model untuk memahami fenomena yang diteliti, karena peneliti dapat memahami berbagai fenomena budaya yang dipelajarinya.
Istilah transformasi berbeda dengan pengertian secara umum yaitu perubahan. Dalam konteks ini transformasi diartikan sebagai alih rupa, artinya dalam suatu transformasi yang berlangsung adalah sebuah perubahan pada tataran permukaan, sedang pada tataran yang lebih tinggi lagi perubahan tidak terjadi. Bidang simbiolisme transformasi tampak dalam bahasa. Dalam perspektif struktural, kebudayaan pada dasarnya adalah rangkaian transformasi dari stuktur yang ada dibaliknya.
Dalam analisis struktural kita dapat menyusun rangkaian-rangkaian tranformasi dari fenomena yang diteliti, setelah itu kita dapat membangun model yang menjelaskan atau memahami fenomena-fenomena sebagai suatu kesatuan. Kemudian akan terlihat adanya struktur yang bersifat tetap. Stuktur inilah yang disebut deep structure, struktur dalam dari berbagai berbagai simbol dan proses simbolisasi fenomena sosial budaya. Deep structure ini merupakan model untuk memahami kebudayaan yang dipelajari. Dengan hadirnya model dalam analisis struktural, maka juga membuka kemungkinan mengenai transformasi-transformasi budaya yang pernah terjadi maupun yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Tujuan penelitian disini adalah menemukan struktur dari fenomena yang diteliti. Karena itu analisi struktural tidak membicarakan proses perubahan. Analis struktural tidak memusatkan pada perubahan, tapi pada keberadaan struktur. Hal ini bukan berarti bahwa strukturalisme menolak atau anti terhadap proses perubahan.
4. Beberapa Asumsi Dasar
Penjelasan yang dapat kita pahami setelah membaca bagian ini adalah, pertama dalam stukturalisme ada anggapan bahwa berbagai aktivitas sosial dan hasilnya seperti dongeng, upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagainya secara formal dapat dikatakan sebagai bahasa (Lane, 1970; 13-14). Kedua anggapan bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis yaitu kemampuan structuring, untuk menstruktur, menyusun suatu stuktur, atau menempelkan suatu stuktur pada gejala yang dihadapi. Ketiga mengikuti pandangan dari de Saussure bahwa suatu istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada titik waktu tertentu secara sinkronis, dengan istilah yang lain.
Para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi fenomena sosial budaya dengan fenomena lainnya pada waktu tertentu menentukan makna fenomena tersebut. Keempat, relasi yang ada pada struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan menjadi oposisi berpasangan, rangkaian tanda-tanda dan simbol fenomena budaya juga ditanggapai dengan cara seperti itu.
Bab 3
Levi-Straus dan Mitos
1.Mitos dan Nalar Manusia
Pemahaman yang kita peroleh setelah membaca bagian ini adalah, Levi-strauss mengatakan bahwa para ahli antropologi sebaiknya memperhatikan mekanisme kerja human mind atau nalar manusia dan memahami strukturnya. Hal ini menunjukan bahwa Levi-strauss tertarik dari sifat nirsadar dari fenomena sosial. Levi-strauss ingin mengetahui prinsip atau dasar universal nalar manusia. Prinsip ini akan tercermin dan bekerja dalam cara manusia menalar, dalam orang modern maupun orang primitif menalar.
Selanjutnya, logika dasar atau nalar manusia mestinya terwujud dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Untuk mengetahui bahwa nalar mengikuti stuktur tertentu dalam bekerjanya, perlu analisis aktifitas yang merupakan perwujudan dari nalar tersebut.
Berbagai ragam budaya pada dasarnya merupakan perwujudan dari nalar. Tetapi tidak semua fenomena mudah dianalisis untuk menemukan strukturnya.. Misalnya sistem kekerabatan dan perkawinan, meskipun merupakan wujud dari adanya struktur dalam nalar manusia, tapi fenomena tersebut tidak sepenuhnya berada di bawah kendali nalar manusia, karena unsur-unsur materi seperti demografi dan ekologi turut menentukan pola atau wujud sistem tersebut pada tataran empiris. Oleh karena itu gejala sosial tidak cukup untuk dijadikan dasar bagi upaya memperlihatkan adanya kekangan struktural di balik fenomena budaya. Fenomena budaya lain yang lebih sesuai adalah mitos.
Pengertian mitos dalam stukturalisme Levi-strauss berbeda dengan pengertian dalam kajian mitologi. Mitos dalam pandangan Levi-strauss, tidak dipertentangkan dengan sejarah atau kenyataan, karena perbedaan makna dari dua konsep ini. Yang dianggap oleh suatu masyarakat atau kelompok sebagai sejarah atau kisah yang benar-benar terjadi, bisa dianggap sebagai dongeng yang tidak diyakini kebenarannya oleh masyarakat lainnya. Mitos juga bukan kisah yang suci karena definisi suci problematis. Mitos dalam konteks strukturalisme Levi-strauss adalah dongeng. Dongeng merupakan kisah atau cerita yang lahir dari imajinasi khayalan manusia, walaupun unsur-unsur khayalan tersebut berasal dari kehidupan sehari-hari. Dalam dongeng ini khayalan manusia memperoleh kebebasan, karena tidak ada larangan bagi manusia untuk menciptakan dongeng.
Hal yang menarik bagi Levi-strauss adalah adanya dongeng yang mirip atau agak mirip satu sama lain, baik pada unsurnya, bagiannya atau beberapa episodenya. Levi-strauss tidak yakin kalau persamaan atau kemiripan ini karena suatu kebetulan, karena kesamaan ini muncul beberapa kali dan memperlihatkan kecenderungan atau pola tertentu. Kemiripan ini tidak dapat dijelaskan dengan menggunakan teori evolusi dan teori difusi kebudayaan. Pada tataran yang lebih kongkrit, teori tersebut tidak selalu mampu menjelaskan berbagai macam kesamaan antar gejala kebudayaan misalnya kesamaan berbagai benda budaya.
Pada tataran yang lebih abstrak atau mengenai hal yang abstrak teori tersebut akan mengalami kesulitan yang lebih besar untuk menjelaskan persamaan berbagai macam gejala kebudayaan. Selain itu, kesamaan dan kemiripan antar berbagai mitos pada banyak sukubangsa di dunia, hampir tidak mungkin dijelaskan sebagai hasil dari kontak kebudayaan, karena sukubangsa tersebut berjauhan jaraknya satu sama lain.
2.Mitos dan Bahasa
Isi dari bagian ini adalah, Levi-straus menganalisis ratusan mitos dengan menggunakan model dari linguistik, hal ini didasari persamaan yang tampak antara mitos dan bahasa.. Persamaan itu adalah pertama bahasa adalah sebuah media, alat, atau sarana komunikasi antar individu dan antar kelompok. Demikian pula mitos, mitos disampaikan melalui bahasa dan mengandung pesan.
3.Mitos dan Musik
Pembahasan dalam bagian ini adalah, Levi-strauss menggunakan istilah dari musik seperti overture dan song. Dia juga mengingatkan kemiripan antara mitos dan musik seperti interlude, rondo, sonata, symphony, movement, fugue.
Selanjutnya, Levi-strauss berpendapat bahwa mitos dan musik pada dasarnya adalah bahasa, ketika dipentaskan keduanya meminta perhatian dari struktur mental pada manusia dan memerlukan dimensi waktu untuk mewujudkan. Meskipun demikian, keduanya melebihi bahasa lisan karena makna mitos dan musik secara bahasa lisan yaitu kata demi kata.
4.Analisis Struktural Mitos ; Metode dan Prosedur
Setelah kita membaca bagian ini kita dapat memperoleh penjelasan yaitu ; Analisis struktural Levi-Strauss atas mitos diilhami oleh teori informasi (Leach, 1974). Dalam perspektif teori ini, mitos bukan hanya dongeng pengantar tidur, tetapi juga kisah yang memuat pesan. Pesan ini tidak tersimpan dalam sebuah mitos yang tunggal, tapi dalam keseluruhan mitos. Dengan dasar pandangan diatas, Levi-strauss menetapkan landasan analisis strukturalnya terhadap mitos. Pertama, jika mitos dipandang sebagai sesuatu yang bermakna, maka makna tidak terdapat pada unsur yang berdiri sendiri, terpisah satu dengan yang lain, tapi bila unsur-unsur tersebut dikombinasikan satu dengan yang lain. Kedua, walaupun mitos termasuk dalam kategori bahasa, namun hanya ciri-ciri tertentu dari mitos yang bertemu dengan ciri-ciri bahasa. Oleh karena itu `bahasa mitos memperlihatkan ciri yang lain. Mitos dimata Levi-strauss adalah gejala kebahasaan yang berbeda dengan gejala kebahasaan yang dipelajari oleh ahli linguistik.
Mitos sebagai suatu bahasa memiliki tatabahasa sendiri dan Levi-straus berupaya mengungkapkan tatabahasa ini dengan menganalisi unsur terkecil dari mitos, yaitu mytheme Mytheme menurut Levi-struss adalah unsur-unsur dalam konstruksi wacana kritis (mythical discourse), yang merupakan satuan yang bersifat kosokbali (oppositional), relatif, dan negatif.. Mengikuti pandangan Jakobson tentang fonem, mytheme dikatakan oleh Levi-strauss sebagai purely differential and contentless sign (1985;145). Oleh karena itu dalam menganalisis mitos atau cerita, makna dari kata yang ada dalam cerita harus dipisahlkan dengan makna miteme, yang juga berupa kalimat atau rangkaian kata-kata dalam cerita tersebut. Menurut Levi-strauss, suatu cerita tidak memberikan makna yang pasti dan mapan pada pendengarnya, tapi hanya memberikan grid (kisi). Kisi ini dapat ditentukan dengan melihat aturan yang mendaari konstruksinya.
Bab 4
Levi-Straus dan Analisis Stuktural
Pada bab ini menjelaskan ; Sebenarnya Levi-Strauss bukan orang pertama yang menganalisa mitos secara struktural. Beberapa ilmuwan pendahulunya telah merintis jalan tersebut sebelumnya. Menurut Levi-Strauss ada tiga orang yang dianggapnya sebagai tokoh strukturalisme di Prancis, yakni Benveniste, Dumezil dan dirinya sendiri. Pengunaan analisis strukturalnya terhadap fenomena kekerabatan dan perkawinan, mitos, totemisme, dan topeng merupakan bukti bahwa Levi-Strauss adalah tokoh yang paling maju, paling konsisten, serta paling yakin dengan paradigma strukturalnya.
Levi-Strauss mengawali penjelajahan strukturalnya atas mitos-mitos dengan menganalisis kisah tentang Oedipus. Dalam menganalisis kisah Oedipus, Levi-Staruss beranggapan bahwa mitos dapat dipenggal menjadi segmen-segmen atau peristiwa-peristiwa, dan setiap orang yang mengetahui mitos tersebut sependapat mengenai segmen atau pertistiwa ini. Setiap segmen harus memperlihatkan relasi antar individu yang merupakan tokoh-tokoh dalam peristiwa tersebut, atau menunjuk pada status-status dari individu-individu di. Segmen inilah yang disebut mytheme. Jadi sewaktu menganalisis perhatian harus diarahkan pada mitem, pada relasi-relasi dan status-status tersebut, sementara tokoh-tokohnya bisa mengalami pergantian. Dari relasi antara miteme itulah terlihat adanya jalinan mitos-mitos yang dianalisa yang di analisa oleh levi-strauss.
Levi-strauss mengatakan bahwa mitos pada dasarnya berhadapan dengan sebuah masalah.untuk memecahkan masalah ini nalar mitis kemudian menyandingkan dengan msalah-masalah yang lain sekaligus, dan kemudian menunjukan bahwa masalah-masalah tersebut analogous atau mirip satu sama lain.
Pada bagian akhir bab ini jdijelaskan mengenai kritik dan komentar terhadap strukturalisme Levi-Strauss. Kritik terhadap Levi-Strauss dikelompokkan menjadi tiga yaitu kritik terhadap perangkat dan metode analisis, kritik terhadap data etnografi dan interpretasinya, kritik terhadap analisis atau kesimpulan
Kritik mengenai perangkat dan metode analisis tersebut adalah mengenai cara menggunakan konsep-konsep analitis, konsistensi atau keajegan dalam prosedur analis, reduksi yang terjadi dalam konsep analisis. Kritik mengenai cara Levi-strauss menggunakan konsep-konsep analisisnya antara lain dari Mary Douglas, Menurut Douglas, Levi Strauss tidak selalu menggunakan konsep analitis yang baik dan tepat, misalnya istilah perbedaan disamakan dengan oposisi, perbedaan digunakan untuk menyatakan adanya oposisi, padahal tidak setiap perbedaan adalah oposisi. Akibat kesalahan tersebut Levi-strauss serng membuat kesimpulan yang terlalu jauh, yang tidak selalu cocok dengan data etnografi yang disodorkan. Istilah oposisi dalam tulisan Levi-strauss, orang masih sulit membedakan apakah istilah ini merupakan suatu heuristic device (alat kerja) untuk menata simbol-simbol yang ada, ataukah memang merupakan kategori-kategori yang ada dalam pikiran masyarakat yang telah melahirkan mitos tersebut (Yalman,1967;78). Oposisi -oposisi yang dikemukakan oleh Levi-strauss dalam mitos merupakan bagian dari struktur yang ada dalam mitos itu, but opposition can be impised on any material by the interpreter, oposisi dapt dikenakan oleh si penafsir atas material (obyek) yang manapun (Douglas,1967;61). Levi-srauss banyak melakukan hal itu.
Sebagian ahli antropologi berpendapat bahwa Levi-strauss seringkali memaksakan datanya agar sesuai dengan kerangka dalam pikirannya. Dengan rumusan lain, Levi-strauss dianggap tidak membangun kesimpulan atas dasar data yang ada, atau menguji pemikirannya dengan data yang tersedia, tetapi memanfaatkan data tersebut untuk mendukung apa yang sudah diduga atau dirumuskan telebih dahulu. Levi-strauss dinilai kurang konsisten dalam analisisnya. Levi-strauss pernah menyatakan bahwa untuk memahami sebuah mitos, peneliti harus memperhatikan strukturnya daripada isi cerita (1963;214). Dalam empat bukunya mengenai logika mitos telihat bahwa Levi-strauss tidak hanya melakukan telaah pada tataran semantis atau isi, dan dilakukan dengan sadar, sebab Levi-strauss pernah mengatakan bahwa dalam mitos bentuk dan isi tidak dapat sepenuhnya dipisahkan (Yalman,1967;82).
Tidak ada komentar